“Ini semua karena kamu menyangkal kemauanku mengambil pedang itu!” bentak Ghadi
“Baik master, aku memang salah. Maafkan aku karena terlalu egois di hadapan dua legenda ini.” jawab orang itu dengan kepala tertunduk
Si elemental pertama mendengus. Masih terlalu cepat untuk bertempur, apalagi jumlah lawannya ada tujuh. Dia memandang rekan naganya. Mereka saling menganggukkan kepala.
“Baik para pahlawan semua, kami minta maaf karena telah mengganggu istirahat kalian. Benar bukan?” Ghadi mengucapkannya dengan nada sinis. Ayah Ghazi memasang kuda-kuda, tapi lawannya tidak memperlihatkan reaksi yang sama.
“Oh, jadi pahlawan ingin bertempur bukan? Tapi kami cuman bertiga, sementara waktunya masih belum memungkinkan. Jadi bagaimana ya kira-kira?”
Start mendengus, tidak perlu ada basa-basi lagi. Orang itu sudah melesat mengirimkan pukulan bulannya. Ending menanggapinya dengan tinju berlapis sisik naga.
“Master, aku tahu anda bisa membuat portal teleportasi. Jadi sampai waktu itu tiba, izinkanlah aku melawan mereka.” si orang bertubuh tinggi menawarkan diri
“Heh, kalau begitu jangan mati melawan mereka.”
Orang itu melayangkan tubuhnya ke bawah. Tiba-tiba dia ‘tenggelam’ ke dalam tanah. Lima belas detik kemudian, ia melompat keluar dengan butiran-butiran tanah.
“Lingkaran raksasa : Hujan batu”
Butiran itu saling berkumpul membentuk sebuah bola raksasa yang melayang di udara. Kemudian benda itu terjun dengan kecepatan tinggi. Ghazi menarik tali busurnya, benda itu akan pecah karena susunannya dari tanah.
“Busur ledakan : Bintang”
Sepuluh detik kemudian, dua serangan itu berhantaman. Ledakan langsung terdengar memecah sunyinya malam. Butiran tanah mengotori baju sepuluh orang itu.
“Portalnya sudah selesai, cepat kita berangkat” seru si elemental pertama
Ending dan Si Tubuh Tinggi mengangguk. Sebelum portalnya menutup, ayah Ghazi melemparkan pertanyaan.
“Siapa sebenarnya kamu?”
“Ketua, apakah ingatan anda sudah menjadi abu-abu? Aku adalah orang yang selalu menggunakan samaran kegelapan bila di luar kegiatan markas. Jadi ketua tidak bisa menemukannya dengan mudah.” jawabnya dengan seringai
Portal kini menutup sempurna. Gerbang raksasa itu juga sudah tertutup lagi karena tidak ada yang memasukinya. Ayah Ghazi menghela napas, dia langsung mengajak semuanya pulang.
***
“Berikutnya kita harus mengambil pedang itu.” ujar Ghadi Al-Chair
“Baik master, tapi tetap ingat jangan terburu-buru” Si Tubuh Tinggi kembali memelas
Tangan si elemental pertama terkepal. Baiklah, ia harus sabar. Penggemarnya ini lebih tahu situasi markas Delapan Kamera.
Ending menghamparkan tikar yang diberikan Si Tubuh Tinggi dan merebahkan tubuhnya. Sejak kemarin, ia belum mengistirahatkan badan.
“Apa anggota dari organisasimu itu selalu sama sejak klan Badai berdiri pertama kali?” tanya Ghadi. Dia memilih tidur nanti saja, masih jam setengah dua belas.
“Master, jangan bercanda. Meski kami ilmuwan tentu usianya tetap normal. Cuman pangkatnya saja yang diwariskan.”
“Maksudnya?”
“Misalnya ketuaku itu. Dia adalah keturunan dari pendiri klan Badai. Gelar ketua Delapan Kamera diwariskan oleh si pendiri ke anak-anaknya. Tapi ketika misalnya pemimpin dari era keempat mengubah pangkat, maka pewarisannya juga bisa berubah.”
“Contohnya, si ilmuwan kedua di era sebelumnya menjadi petinggi. Namun, era berikutnya ketuanya melakukan penggantian, misalnya ilmuwan keempat naik. Maka keturunan ilmuwan keempat mewarisi gelar petinggi.” jelas Si Tubuh Tinggi
Ghadi manggut-manggut, lumayan repot juga aturan petinggi itu. Jadi dia memutuskan tidur agar bisa melupakannya.
Si Tubuh Tinggi pamit, dia akan kembali ke rumahnya. Beraktifitas seperti biasa seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
***
Besoknya di markas Delapan Kamera, si ketua ilmuwan memberi tahu rekan-rekannya tentang penyusupan tiga orang ke ruangan rahasia. Dia juga bertanya satu per satu apa yang dilakukan mereka tadi malam.
“Jam segitu aku sudah istirahat, ketua. Sehingga aku tidak mendengar panggilan darurat anda” jawab ilmuwan kelima
“Ketika panggilan darurat anda muncul, aku sudah sibuk bermain game. Ketua tahu bukan kesukaanku itu bila malam sudah tiba.” ilmuwan keempat menjelaskannya dengan wajah tertunduk, menyesal.
Si ketua ilmuwan mendesah. Dia tahu hobi rekan-rekannya, jadi ia tidak akan memarahi si keempat. Matanya lalu memandang ke arah si ketiga. Tinggal satu lagi orang yang punya akses ke ruangan itu.
“Semalam aku sudah tidur ketua. Saya sudah kecapekan karena terlalu bersemangat mengerjakan proyek sinar super terang itu. Anda tahu kan, kesukaanku adalah membuat sesuatu yang baru.”
Alis si pertama terangkat, dia percaya kalau salah satu dari petinggi berkhianat. Tapi dua alasan mereka cukup masuk akal. Ia mendesah, tidak perlu menanyakan alasan si kedua. Orang itu tidak memiliki akses.
Kegiatan berjalan normal lagi. Empat orang itu sudah sibuk lagi menyelesaikan proyek mereka. Si pertama duduk di kursi mengamati rekannya.
“Berikutnya aku akan lebih tersembunyi menemukan orang yang semalam.” batinnya
Sore sudah kembali. Start bertanya ke si ilmuwan pertama apakah dia berhasil mendapat petunjuk. Tapi tentu saja jawabannya, belum.
“Baiklah, kita tidak akan membahas itu lagi. Oiya, proyek yang kami kerjakan sudah hampir jadi. Apa kalian nanti mau melihatnya?”
“Tentu saja ayah! Aku sangat menunggu momen itu.” seru Ghazi bersemangat.Kris dan tiga temannya mengangguk. Mereka juga ingin melihatnya.
“Hei, anda jangan terlalu memikirkannya. Santai saja, nanti waktu akan memperlihatkannya sendiri pada kita.”
Start menghela napas. Dia izin keluar rumah sebentar, mau jalan-jalan. Ayah Ghazi mengangkat bahu, silahkan saja.
***
Waktu mengalir dengan tenang. Ruangan rahasia itu ‘tidak’ disusupi lagi. Hingga akhirnya tiba di hari keenam.
“Dua hari lagi rencana kita akan dilakukan. Apa idemu?” tanya Ending
“Nanti sore aku akan datang ke markas Delapan Kamera. Proyek itu sedikit lagi selesai. Ilmuwan kedua akan berada disana. Dan aku tinggal menyelesaikan ini.” jawab Si Tubuh Tinggi dengan seringainya
“Ingat, jangan berlebihan. Cukup menangkapnya hingga dia tidak bisa ikut bagian terakhir.” kata Ghadi
“Tentu saja. Kalau berlebihan, ketuaku itu bisa marah besar. Hingga akhirnya melakukan satu langkah ke lorong gelap itu pun tidak bisa.”
Senja akhirnya tiba. Ruangan peneliti sangat berisik karena berbagai alat berhamburan. Ilmuwan kedua dengan teliti merakit bagian terakhirnya. Dia sendirian melakukan itu semua.
Tapi mendadak orang itu terasa mengantuk. Dia berusaha menahannya, tidak sampai proyeknya benar-benar selesai.
Tiba-tiba alisnya terangkat, “Rupanya kamu, ilmuwan termuda. Dasar menye-” si ilmuwan kedua sudah jatuh ke lantai. Teknologi pengantuknya bekerja sangat baik.
“Heh, target berikutnya tinggal mereka.”
Awan mendung yang sangat pekat tiba. Menurunkan airnya ke bumi. Klan Badai tentu saja ikut mendapatkannya. Tinggal sebentar lagi hingga pertempuran terakhir tiba.
Bersambung ke : Badai (Vol 4)