Badai : Delapan Kamera (Vol 2)

Di depan kami kini berdiri sebuah bangunan kaca berbentuk bintang. Inilah markas Delapan Kamera yang selalu Ghazi bicarakan sepanjang perjalanan.

“Kalian tahu kenapa diberi nama seperti itu?” Ghazi memberikan pertanyaan dengan nada yang mirip pengujian. Tapi tentu saja Kris dan teman-temannya tidak tahu.

“Tahu kegunaan kamera, kan? Untuk memotret sesuatu yang dianggap bagus lalu menyimpannya di dalam memori. Dan akhirnya foto itu bisa dilihat lagi kapanpun kita mau.”

“Nah, delapan dalam nama organisasi ini untuk melambangkan orang-orang yang berada di dalamnya. Iya sekarang cuman lima karena tiga lainnya sudah meninggal. Sedangkan kamera, untuk melambangkan organisasi ini selalu ‘memotret’ dan ‘menyimpan’ hal-hal bagus.”

“Misalnya senjata legendaris itu. Memotret adalah membuatnya dengan hati yang bahagia, menyimpannya sampai waktu penggunaannya tiba. Lalu bila karya itu tidak berbahaya, maka bisa dilihat kapanpun orang mau. Ada loh tempat khusus untuk memperlihatkannya, mungkin itu seperti museum.” jelas Ghazi panjang lebar

Uniknya, begitu masuk sedari tadi tidak terlihat seorangpun. Harusnya kan ada ilmuwan-ilmuwan yang sibuk berjalan kesana kemari.

Mereka masuk ke sebuah ruangan. Barulah terlihat empat orang sedang mengerjakan proyek sinar petir super terang itu.

“Pak, apakah Delapan Kamera ini tidak terikat peraturan-peraturan tertentu? Kenapa empat ilmuwan itu dengan santainya membuat sesuatu?” Ali bertanya dengan mimik heran

“Iya, karena ini adalah klannya para ilmuwan. Kami semua bebas, mau membuat senjata legendaris lagi pun tidak masalah.” jawab ayah Ghazi

John berjalan mendekat, penasaran dengan proyek yang lagi dikerjakan. Tiba-tiba, ilmuwan ketiga mengibaskan tangannya, tidak boleh mengganggu. Anak itu mendesah, baiklah, ia tidak jadi melihatnya.

Ali sebenarnya ingin memperhatikan juga. Tapi melihat kawannya berjalan menjauh dari sana, rasa penasarannya harus ditahan.

“Paman berambut keriting, jadi kita mau diajak kemana?” tanya Hamzah

“Kita akan ke ruangan rahasia itu, memperlihatkan seperti apa versi aslinya.”

Mereka melewati sebuah lorong gelap yang cukup panjang. Hingga akhirnya cahaya kembali terlihat dan disambut dengan pemandangan ‘Seratus Rintangan Kematian’.

***

Start memandang takjub, bahkan tantangan pertamanya sudah susah. Sebuah parit selebar sepuluh meter. Dasarnya diisi dengan api hitam yang menari-nari.

Si paman berambut keriting mengeluarkan sebuah remote. Memencetnya dan seketika muncul sebuah jembatan diantara parit itu.

“Inilah yang aku maksud. Remote ini hanya bisa dimiliki tiga ilmuwan yang kusebutkan sebelumnya. Bisa dibilang sebagai jalan pintasnya.” jelas ayah Ghazi

Di rintangan kedua terdapat dua garis merah selebar delapan meter. Ghazi dengan percaya diri melangkahkan kakinya. Tapi baru selangkah, kakinya mendadak terasa berat.

“Ruangan gravitasi maksimum?” Ali menyimpulkan

“Benar. Maka jalan pintasnya adalah menekan tombol ini lalu kita bisa melewatinya dengan mudah.” kata paman berambut keriting itu.

Setelah berjalan cukup lama, akhirnya tiba di rintangan ke sembilan puluh delapan. Listrik menyambar rapat dari tembok satu ke sebelahnya. Dan itu sepanjang dua belas meter.

Mereka melewatinya dengan dikelilingi perisai berbentuk setengah lingkaran. Dua rintangan lagi untuk melihat pintu rahasia itu.

“Sebelum jalan pintas keluar, coba pikirkan bagaimana caranya melewati ini. Sungai jeli beracun selebar dua puluh meter dengan panjang enam puluh meter. Dimana kamu tidak bisa menggunakan perahu karena racun itu bisa menyelip masuk dari sela-selanya. Bila menggunakan pelindung, itu bisa tergelincir dan menubruk dinding dengan ribuan tombak itu. Kalau pecah, nyawamu terancam.”

“Bila memakai teleportasi, tombak-tombak itu juga bisa mementalkan kalian kembali ke sungai jeli beracun ini. Jadi bagaimana caranya kita melewatinya?” tantang paman berambut keriting itu

Ghazi, Kris dan tiga temannya mengernyit. Seriusan itu semua tidak berlaku diatas sungai racun ini? Mereka akhirnya mulai berpikir. Sedangkan Start hanya berdiam diri begitu melihat kode yang diberikan ayah Ghazi.

“Jembatan! Gunakan itu” celetuk Hamzah

“Bila kamu menggunakan itu, sungai ini bisa mendadak naik hingga kamu terendam.” jawab si ketua ilmuwan

“Apa!?” Hamzah menjadi terkejut mendengarnya

Mereka kembali merenung. Kris tiba-tiba mengangkat tangannya, “Gunakan remote untuk menyerap sungai racun ini. Sama seperti rintangan kedua waktu itu.”

“Hei, itu dilarang. Sungai jeli beracun ini terlalu berbahaya untuk diserap dan bisa-bisa tempat penyimpanannya hancur lebur.” jelas ayah Ghazi

Setelah hening selama sepuluh menit, John mengungkapkan pendapatnya. “Perahu tidak bisa, teleportasi tidak bisa, pelindung juga tidak. Jembatan akan terendam dan tempat penyimpanan bisa hancur lebur. Ah! Kenapa kita tidak memikirkan ini sejak tadi.”

“Sungguh? Beri tahu, kak John” seru Ali bersemangat

“Melayang! Kita harus melayang untuk melewati ini!” teriak John bersemangat

“Hahaha, untuk anak seusiamu bisa secerdas ini cukup hebat.” puji ayah Ghazi

Paman itu memencet tombolnya dan dalam sekejap semuanya melayang. Mereka terbang melewati sungai yang sangat luas itu.

“Selamat datang di rintangan ke seratus. Tantangan paling puncak dari semuanya.” ucap si ketua ilmuwan

Di depan kami terhampar sembilan puluh sembilan tantangan yang sudah terlewati sebelumnya. Parit berapi, gravitasi maksimum bahkan sungai jeli beracun. Kris dan teman-temannya menjadi tidak bersemangat melihatnya.

“Paman, kenapa itu muncul lagi..” Ali protes

“Iya ayah, bagaimana caranya bisa menyatukan semuanya dalam satu rintangan seperti ini.” Ghazi menimpali

Ayah Ghazi tertawa, “Maka dari itu, mulai dari sini kata sandi dibutuhkan.” Dia berjalan mendekati parit lalu mengucapkan kata sandinya.

Dalam sekejap, sebuah jalan terbentang lebar. Semua rintangannya menepi dan ajaibnya mereka bisa bersisian. Api hitam dengan sungai beracun. Gravitasi maksimum dengan robot ksatria merah. Dan sebagainya.

“Entah kenapa ini mengingatkanku dengan kisah ketika para hewan bersisian membuka jalan untuk sebuah pasukan yang hendak melewati hutan mereka.” ucap Kris

“Iya, memang mirip tapi satu persen pun tidak sampai. Pasukan itu bertujuan untuk menyebarkan ajaran agama. Sedangkan kita cuman untuk melihat Al-Ma’thar versi asli.” jawab Ghazi nyengir

“Oke anak-anak, kita sudah tiba di depan pintu rahasia.”

Berdiri sebuah pintu yang sangat besar berwarna keemasan. Ayah Ghazi menyuruh mereka berenam menutup matanya. Kata sandinya super rahasia bahkan bila orang itu sudah diberi izin oleh petinggi.

“Buka mata kalian, kita telah tiba.” ucap ayah Ghazi

Start dan yang lainnya membuka matanya. Terlihat sebuah pedang terletak dengan rapi. Ternyata versi aslinya di gagangnya terdapat dua kepala berbentuk ular. Warna emasnya pun lebih terang dibanding replikanya.

“Boleh dipegang?” tanya Ali

“Cuman lima puluh detik.” jawab si ketua ilmuwan tegas

Anak itu tanpa banyak bicara lagi langsung melesat. Sebagai orang yang terlahir dari klan Robot Merah, rasa penasarannya sangat tinggi. Soalnya keluarganya juga seorang ilmuwan. Hanya saja penelitiannya tidak seterkenal Ali.

Setelah selesai, John bertanya ke temannya itu. “Bagaimana rasanya? Apakah lebih hebat dari replikanya? Apa kamu bisa merasakan kekuatan yang meletup-letup itu?”

“Iya kawan, aku bahkan bisa merasakan kalau ini sekali ayun bisa memporak-porandakan sekitar.” Ali menjawabnya dengan nada bercanda

“Hebat!” John berteriak penuh semangat

“Anak-anak, ayo sekarang kita pergi melihat museumnya. Lagi pula disini tidak ada yang menarik selain pedang itu.” ajak ayah Ghazi

Semuanya mengangguk setuju, mereka ingin melihat karya-karya yang sudah jadi. Pintu raksasa itu kembali ditutup. Tapi gerbang itu bisa terbuka dalam waktu dekat. Hingga menyisakan kehampaan saja.

***

Si tubuh tinggi, bagaimana rencanamu? Apakah semuanya masih berjalan lancar? Ghadi bertanya melalui teknologi telepati.

Tentu, master elemental pertama. jawab seseorang dari seberang

Bagus, kalau begitu malam nanti aku dan Ending akan menyelinap kesana.

Ghadi mematikan alat telepatinya. Sementara itu, orang di seberang menghela napas. Demi dua legenda yang dia suka sejak kecil, gelar petinggi Delapan Kameranya sudah tidak penting.

“Wah, museumnya luas juga ya. Banyak barang-barang menarik.” Hamzah memberikan komentarnya

“Iya, aku saja yang sudah pernah masuk berkali-kali ke sini tetap tidak merasa bosan. Soalnya tim Delapan Kamera selalu membuat hal-hal baru setiap beberapa hari sekali. Ada ruangan prakteknya juga loh bila kalian ingin mencobanya.” jelas Ghazi

Mata Ali, Kris dan yang lainnya langsung berbinar. Ghazi menyuruh mereka mengambil salah satu benda itu. Kemudian berjalan beriringan ke ruangan yang dimaksud.

Sementara Start hanya sibuk mengobrol dengan ayah Ghazi. Dia cuman ingin menggali informasi sebanyak mungkin tentang klan Badai.

Tidak terasa, matahari sudah berwarna jingga. Paman berambut keriting itu langsung mengajak semuanya pulang. Dia juga menyuruh empat ilmuwan lainnya untuk pulang.

Proyek sinar super terang itu bisa dilanjutkan besok lagi. Bahkan ketika mengerjakan Al-Ma’thar, mereka cuman bekerja dari pagi sampai siang.

Markas berbentuk bintang itu dalam sekejap sudah sepi. Si ketua ilmuwan yang terakhir keluar, mengunci pintunya rapat-rapat.

“Ayo, sekarang kita bisa membahas hal lain ketika di rumah.” ucapnya

“Baik paman”

Bintang-bintang di langit sudah terhampar. Hanya bunyi jangkrik yang terdengar. Jarum pendek jam mengarah ke angka sebelas. Ghadi dan Ending berjalan mengendap-endap mendekati pintu itu.

Begitu masuk, master harus berjalan ke kiri lurus terus. Hingga akhirnya melewati lorong panjang itu. Suara telepati itu mengarahkan mereka.

Dua orang legenda itu akhirnya tiba di rintangan pertama. Suara telepati mengarahkan untuk melakukan teleportasi menyeberanginya.

Rintangan kedua, si suara telepati menampakkan wujudnya. Tubuhnya tinggi dengan muka lonjong. Matanya lebar berwarna kecoklatan.

“Ingat, malam ini kita cuman untuk memberikan peringatan ke mereka. Kalau kalian sudah mulai mengincar senjata itu.” ujarnya dengan senyum penuh kejahatan

Ending dan Ghadi menyeringai, padahal orang ini ilmuwan yang memiliki akses ke ruangan rahasia. Tapi senyum itu sangat berbeda dengan wujud baiknya.

Begitu tiba di hadapan pintu raksasa, orang itu memberi tahu kata sandinya. Dan menyarankan agar Ending lah yang memasukkannya.

Dalam sekejap, alarm peringatan meraung keras. Layar kata sandi memperlihatkan kalimat, ‘orang yang memasukkan kata sandi tidak dikenali. Penyusup terdeteksi.’

Jauh dari sana. Si ketua ilmuwan, Start, Kris dan yang lainnya masih makan malam. Tapi begitu mendengar bunyi berdering, ketenangan itu terpecah.

“Ruangan rahasia hendak dimasuki penyusup. Aku harus pergi mengeceknya.” seru ayah Ghazi

“Bolehkah kami mengikuti Anda?” tanya Start

“Tentu, soalnya empat ilmuwan lainnya tidak bisa dihubungi. Mungkin karena perangkat penghubung mereka sudah dimatikan. Sudah istirahat.” jawabnya masih dengan ekspresi serius

Mereka dalam sekejap sudah menghilang. Langsung berteleportasi menuju bangunan bintang itu. Begitu tiba di depan rintangan pertama, ayah Ghazi langsung mengaktifkan tombol instan. Semua jalan pintasnya langsung muncul.

“Lihat, dia langsung datang. Peringatan kita cukup sampai sini saja.” ujar si otak penyusupnya

“Loh, kenapa begitu? Lihatlah, di depan kita sudah terlihat pedang itu. Setidaknya ambil terlebih dahulu.” Ghadi berseru tidak terima

“Jangan terburu-buru master. Aku sudah pernah melihat orang yang ingin mengambilnya, langsung celaka begitu mengangkat pedang itu dari tempatnya.” jelasnya singkat

“Sungguh? Jadi ruangan ini sebenarnya sudah pernah mengalami percobaan pembobolan?” tanya Ending. Orang itu mengangguk.

“Aku tidak terima ide langsung kabur itu! Setidaknya ambil dulu!” kini si elemental pertama berteriak

“Master, tolonglah percaya pada perkataanku. Ini demi keselamatan Anda. Kenapa bapak berambut keriting itu bisa menjadi ketua? Itu karena kemampuan memimpinnya yang tinggi serta kekuatan dahsyat. Tolong, kita pergi sekarang juga.”

Ghadi mendengus, rasa sombongnya sebagai orang yang menyandang gelar elemental pertama masih membumbung tinggi.

Tiba-tiba terdengar dentuman yang sangat kencang. Kulit tiga orang itu terasa seperti meleleh. Si orang bertubuh tinggi mendesah, “Kita sudah terlambat untuk lari, master.”

 

Bersambung ke : Badai (Vol 3)

Scroll to Top