Pada tahun 750 masehi. Di sebuah kota bernama Khawarizm yang sekarang menjadi Khiva, Uzbekistan. Lahir seorang bayi dan kelak karyanya sangat diingat dunia. Al-Khawarizmi, begitulah ia dikenal.
Ketika kecil, dia dibawa orangtuanya ke satu daerah, selatan Kota Baghdad. Di tempat inilah, anak itu mulai semangat untuk belajar. Saat usianya remaja, sekitar 20 tahun, ia menjadi ilmuwan. Dan menjadi anggota Bait Al-Hikmah setelah diangkat khalifah.
Bait Al-Hikmah, bila diterjemahkan berarti rumah kebijaksanaan. Dan kenyataannya sangat sesuai. Tempat itu menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan. Sekaligus perpustakaan besar yang didirikan khalifah. Meski terjadi pergantian kekuasaan, Baghdad tetap berjaya.
Sejak pertama kali menjadi anggota Bait Al-Hikmah, Al-Khawarizmi belajar banyak ilmu. Terutama yang berkaitan dengan alam serta matematika. Dia terus melakukan riset keilmuan, sehingga sumber wawasannya terbuka dari manapun. Mulai Yunani bahkan Romawi.
Karena inilah, Al-Khawarizmi mampu melahirkan banyak karya. Salah satunya kitab Al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa’l muqabala (The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing.)
Ada yang bisa menebak buku itu tentang apa? Bila kamu menjawab aljabar, maka jawabannya betul. Karya sang ilmuwan menjadi pondasi penting untuk ilmu aljabar masa kini.
Sang ilmuwan ternyata mempelajari karya seorang ilmuwan Yunani, bernama Diophantus. Dari sanalah, Al-Khawarizmi mendapati permasalahan serta kesalahan yang susah dipahami. Ia lalu memperbaiki dan menyempurnakan aljabar. Hingga ia diakui sebagai “Bapak Aljabar”.
Al-Khawarizmi juga mempopulerkan pemakaian angka, mulai nol hingga seterusnya. Beliau membuat satu kitab untuk karyanya dalam ilmu ini. Berjudul Al-Jam’ wat-Tafriq bi-Hisab al-Hind. Di dalamnya ada penjelasan mengenai penjumlahan dan pengurangan berdasar kalkulasi Hindu.
Selain itu ia mempelajari bidang astronomi, geografi serta geologi. Masya Allah! Sangat jenius sekali beliau. Tidak berhenti sampai disitu, sang ilmuwan ikut menorehkan karyanya!
Misalnya dalam astronomi, ia menulis buku berjudul Zīj al-sindhind. Isinya adalah 37 simbol pada kalender astronomi dan 116 tabel. Lengkap dengan kalenderial, astronomial dan data astrologialnya. Kitab beliau yang lain memiliki judul Risala fi istikraj ta’rikh al-yahud (Extraction of The Jewish Era).
Sekilas Karya-Karya Al-Khawarizmi yang Lain
Masih penasaran atas karya-karyanya? Yuk, lihat dibawah ini.
- Shuuratul Ardh. Buku ini bertema geografi dan membahas peta. Sinopsisnya dicetak pertama kali pada tahun 1926 masehi. Kemudian diterjemahkan ke bahasa Jerman tahun 1932 masehi. Naskahnya masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Strasbourg.
- Taqwiimul Buldaan. Bertema sama dengan kitab sebelumnya. Bahkan sumbernya juga dari kitab Shuuratul Ardh. Di buku ini, sang ilmuwan memperbarui teori-teori geografi dari salah satu ilmuwan Yunani kuno.
- Mafatih al-‘Ulum. Dalam buku ini ada dua pembahasan besar. Pertama membahas ilmu-ilmu syariah dan dibersamai oleh pengetahuan yang berkembang di Arab. Sebut saja fikih, khat atau kaligrafi hingga sejarah.
Kedua bertema ilmu-ilmu yang non-Arab. Seperti filsafat, aritmatika, matematika, astrologi, musik sampai kimia. - Ma’rifat sa’at al-mashriq fi kull balad. Membahas tentang pagi hari.
- Ma’rifat al-samt min qibal al-irtifa’. Membahas salah satu cabang matematika, azimuth. Ilmu ini menjelaskan mengenai sudut putar dari Barat hingga Timur.
Banyak lagi karya-karya beliau yang sayangnya sudah hilang. Besar sekali jasanya untuk umat manusia masa kini.
Al-Khawarizmi dan Filsafat
Setelah puluhan karyanya diatas, sang ilmuwan ini masih saja belajar ilmu lain. Dalam bidang ini, Al-Khawarizmi pernah memberi nasehat.
Saat itu beliau ditanya seseorang, “Wahai Imam, apakah yang berharga dari diri seorang manusia?”
“Seorang manusia itu bila dihiasi akhlak mulia maka ia sudah mempunyai angka satu dalam hidupnya. Lalu dikaruniai wajah tampan atau cantik, bertambah angka nol pada angka satu yang sebelumnya, menjadi sepuluh. Dan seterusnya. Dikaruniai harta maka bertambah nol, menjadi 100. Coba perhatikan! Nilai nol yang ada di sifat serta ciri tambahan manusia, akan terus berlipat ganda. Namun semua itu rugi bila tidak bersandar pada angka satu. Yang letaknya di depan.”
“Ketahuilah, angka satu ialah gambaran akhlak yang mulia. Bagaimana jika ia lenyap? Tentu semua tidak ada arti meski berhias seribu kemuliaan,” tutur sang ilmuwan ini.
Mau tahu ilmuwan-ilmuwan muslim besar lainnya? Coba baca Al-Farabi dan Al-Buzjani. Hikmahnya, kita sebagai muslim jangan hanya menonton karya beliau. Minimal buatlah satu karya yang bermanfaat untuk diri sendiri serta orang lain.
Bila di masa lalu Islam bisa mengubah dunia, kenapa sekarang tidak?